Kamis, 22 Desember 2011

SILABI.PTT

SILABI

ARSIP

filsapat pendidikan











Filsafat Pendidikan


Merupakan terapan dari filsafat umum, maka selama membahas filsafat pendidikan akan berangkat dari filsafat.
Filsafat pendidikan pada dasarnya menggunakan cara kerja filsafat dan akan menggunakan hasil-hasil dari filsafat, yaitu berupa hasil pemikiran manusia tentang realitas, pengetahuan, dan nilai.Dalam filsafat terdapat berbagai mazhab/aliran-aliran, seperti materialisme, idealisme, realisme, pragmatisme, dan lain-lain. Karena filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat, sedangkan filsafat beraneka ragam alirannya, maka dalam filsafat pendidikan pun kita akan temukan berbagai aliran, sekurang-kurnagnya sebanyak aliran filsafat itu sendiri.
Brubacher (1950) mengelompokkan filsafat pendidikan pada dua kelompok besar, yaitu
a. Filsafat pendidikan “progresif”
Didukung oleh filsafat pragmatisme dari John Dewey, dan romantik naturalisme dari Roousseau
b. Filsafat pendidikan “ Konservatif”.
Didasari oleh filsafat idealisme, realisme humanisme (humanisme rasional), dan supernaturalisme atau realisme religius.

Filsafat-filsafat tersebut melahirkan filsafat pendidikan esensialisme, perenialisme,dan sebagainya.

Berikut aliran-aliran dalam filsafat pendidikan:
1. Filsafat Pendidikan Idealisme memandang bahwa realitas akhir adalah roh, bukan materi, bukan fisik. Pengetahuan yang diperoleh melaui panca indera adalah tidak pasti dan tidak lengkap. Aliran ini memandang nilai adalah tetap dan tidak berubah, seperti apa yang dikatakan baik, benar, cantik, buruk secara fundamental tidak berubah dari generasi ke generasi. Tokoh-tokoh dalam aliran ini adalah: Plato, Elea dan Hegel, Emanuael Kant, David Hume, Al Ghazali

2. Filsafat Pendidikan Realisme merupakan filsafat yang memandang realitas secara dualitis. Realisme berpendapat bahwa hakekat realitas ialah terdiri atas dunia fisik dan dunia ruhani. Realisme membagi realitas menjadi dua bagian, yaitu subjek yang menyadari dan mengetahui di satu pihak dan di pihak lainnya adalah adanya realita di luar manusia, yang dapat dijadikan objek pengetahuan manusia. Beberapa tokoh yang beraliran realisme: Aristoteles, Johan Amos Comenius, Wiliam Mc Gucken, Francis Bacon, John Locke, Galileo, David Hume, John Stuart Mill.

3. Filsafat Pendidikan Materialisme berpandangan bahwa hakikat realisme adalah materi, bukan rohani, spiritual atau supernatural. Beberapa tokoh yang beraliran materialisme: Demokritos, Ludwig Feurbach

4. Filsafat Pendidikan Pragmatisme dipandang sebagai filsafat Amerika asli. Namun sebenarnya berpangkal pada filsafat empirisme Inggris, yang berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui apa yang manusia alami. Beberapa tokoh yang menganut filsafat ini adalah: Charles sandre Peirce, wiliam James, John Dewey, Heracleitos.

5. Filsafat Pendidikan Eksistensialisme memfokuskan pada pengalaman-pengalaman individu. Secara umum, eksistensialisme menekankn pilihan kreatif, subjektifitas pengalaman manusia dan tindakan kongkrit dari keberadaan manusia atas setiap skema rasional untuk hakekat manusia atau realitas. Beberapa tokoh dalam aliran ini: Jean Paul Satre, Soren Kierkegaard, Martin Buber, Martin Heidegger, Karl Jasper, Gabril Marcel, Paul Tillich

6. Filsafat Pendidikan Progresivisme bukan merupakan bangunan filsafat atau aliran filsafat yang berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar di masa mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan. Beberapa tokoh dalam aliran ini : George Axtelle, william O. Stanley, Ernest Bayley, Lawrence B.Thomas, Frederick C. Neff

7. Filsafat Pendidikan esensialisme Esensialisme adalah suatu filsafat pendidikan konservatif yang pada mulanya dirumuskan sebagai suatu kritik pada trend-trend progresif di sekolah-sekolah. Mereka berpendapat bahwa pergerakan progresif telah merusak standar-standar intelektual dan moral di antara kaum muda. Beberapa tokoh dalam aliran ini: william C. Bagley, Thomas Briggs, Frederick Breed dan Isac L. Kandell.

8. Filsafat Pendidikan Perenialisme Merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Mereka menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual dan sosio kultual. Oleh karena itu perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat dan teruji. Beberapa tokoh pendukung gagasan ini adalah: Robert Maynard Hutchins dan ortimer Adler.

9. Filsafat Pendidikan rekonstruksionisme merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme. Gerakan ini lahir didasarkan atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada sekarang. Rekonstruksionisme dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930, ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang pantas dan adil. Beberapa tokoh dalam aliran ini:Caroline Pratt, George Count,HarolRugg.

 Fenomena”Hidup Lebi Maju”
Setiap orang, pasti menginginkan hidup bahagia. Salah satu diantaranya yakni hidup lebih baik dari sebelumnya atau bisa disebut hidup lebih maju. Hidup maju tersebut didukung atau dapat diwujudkan melalui pendidikan. Dikaitkan dengan penjelasaan diatas, menurut pendapat saya filsafat pendidikan yang sesuai atau mengarah pada terwujudnya kehidupan yang maju yakni filsafat yang konservatif yang didukung oleh sebuah idealisme, rasionalisme(kenyataan). Itu dikarenakan filsafat pendidikan mengarah pada hasil pemikiran manusia mengenai realitas, pengetahuan, dan nilai seperti yang telah disebutkan diatas.
Jadi, aliran filsafat yang pas dan sesuai dengan pendidikan yang mengarah pada kehidupan yang maju menurut pikiran saya yakni filsafat pendidikan progresivisme (berfokus pada siswanya). Tapi akan lebih baik lagi bila semua filsafat diatas bisa saling melengkapi.

sumber artikel: http://intl.feedfury.com/content/16333546-filsafat-pendidikan.html

ARSIP

Sistem Pendidikan

Sistem Pendidikan

Sistim Penyelenggaran Pendidikan

Sejalan dengan paradigma baru pendidikan tinggi, penyelenggaraan pendidikan di Universitas Negeri Makassar menganut pendekatan yang berorientasi pada mahasiswa. Di dalam pengelolaannya maka kualitas menjadi acuan utama yang didukung oleh otonomi, akuntabilitas, akreditasi, dan evaluasi. Dengan didukung oleh pengajar dan staf administrasi Universitas Negeri Makassar berusaha memelihara terselenggaranya pendidikan yang dibinanya. Dukungan lainnya di samping ketersediaan fasilitas, juga kurikulum yang selalu diperbaharui sesuai dengan tuntutan perkembangan terhadap pengaruh teknologi dan seni.
Jenis dan Tujuan Pendidikan

Jenis pendidikan yang diselenggarakan oleh Universitas Negeri Makassar adalah pendidikan Akademik, Pendidikan Profesional, dan Pendidikan Profesi.
Pendidikan akademik terdiri atas program sarjana, program magister, dan program doktor yang bertujuan menyiapkan peserta didik untuk menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dalam menerapkan, mengembangkan, dan/atau memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian, serta menyebarluaskan dan mengupayakan penggunaan teknkologi dan kesenian untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.

Pendidikan Profesional yang terdiri atas program Diploma III, dan diploma IV, bertujuan menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan professional dalam menerapkan mengembangkan, dan menyebarluaskan teknologi dan /atau kesenian serta mengupayakan penggunaan untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.

Pendidikan Profesi adalah pendidikan tambahan setelah pendidikan sarjana untuk memperoleh keahlian dan sebutan profesi dalam bidang tertentu.

Sistem Pendidikan

Penyelenggaraan pendidikan di Universitas Negeri Makassar menganut Sistem Kredit Semester (SKS) yaitu menyiapkan suatu sistem penyelenggaraan pendidikan dengan menggunakan satuan kredit semester untuk menyatakan beban studi mahasiswa, beban kerja dosen, pengalaman belajar, dan beban penyelenggaraan program. System ini memungkinkan mahasiswa merencanakan pendidikannya sesuai dengan minat dan kemampuannya. Untuk perencanaan ini mahasiswa diwajibkan mengisi Kartu Rencana Studi (KRS) yang ditetapkan oleh pemimpin Fakultas.

Semester adalah satuan waktu kerja kegiatan yang terdiri atas 16 sampai 19 minggu kuliah atau kegiatan terjadwal lainnya, berikut kegiatan iringannya, termasuk 2 sampai 3 minggu kegiatan penilaian.

Satuan Kredit semester adalah takaran penghargaan terhadap pengalaman belajar yang diperoleh selama satu semester melalui kegiatan terjadwal per minggu sebanyak 1 jam perkuliahan atau 2 jam praktikum, atau 4 jam kerja lapangan, yang masing-masing diiringi oleh sekitar 1 – 2 jam kegiatan terstruktur dan sekitar 1 – 2 jam kegiatan mandiri.

Unit Pelaksana Teknis

 

Copyright (C) 2010 By Team ICT Center UNM

 

Sumber web: http://www.unm.ac.id/index.php/sistem-pendidikan

 

Kurikulum

 

Kurikulum


 

Pasal 37

Kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaiannya dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian, sesuai dengan jenis dan jenjang masing-masing satuan pendidikan.

Pasal 38

  1. Pelaksanaan kegiatan pendidikan dalam satuan pendidikan didasarkan atas kurikulum yang berlaku secara nasional dan kurikulum yang disesuaikan dengan keadaan serta kebutuhan lingkungan dan ciri khas satuan pendidikan yang bersangkutan.

  2. Kurikulum yang berlaku secara nasional ditetapkan oleh Menteri atau Menteri lain atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen berdasarkan pelimpahan wewenang dari Menteri.


Pasal 39

  1. Isi kurikulum merupakan susunan bahan kajian dan pelajaran untuk mencapai tujuan penyelenggaraan satuan pendidikan yang bersangkutan dalam rangka upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional.

  2. Isi kurikulum setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan wajib memuat :

    1. pendidikan Pancasila;

    2. pendidikan agama;

    3. pendidikan kewarganegaraan.



  3. Isi kurikulum pendidikan dasar memuat sekurang-kurangnya bahan kajian dan pelajaran tentang :

    1. pendidikan Pancasila;

    2. pendidikan agama;

    3. pendidikan kewarganegaraan;

    4. bahasa Indonesia;

    5. membaca dan menulis;

    6. matematika (termasuk berhitung);

    7. pengantar sains dan teknologi;

    8. ilmu bumi;

    9. sejarah nasional dan sejarah umum;

    10. kerajinan tangan dan kesenian;

    11. pendidikan jasmani dan kesehatan;

    12. menggambar; serta

    13. bahasa Inggris.



  4. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.


Bab X. Hari Belajar dan Libur Sekolah


Pasal 40

  1. Jumlah sekurang-kurangnya hari belajar dalam 1 (satu) tahun untuk setiap satuan pendidikan diatur oleh Menteri.

  2. Hari-hari libur untuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah diatur oleh Menteri dengan mengingat ketentuan hari raya nasional, kepentingan agama, dan faktor musim.

  3. Satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat dapat mengatur hari-hari liburnya sendiri dengan mengingat ketentuan yang dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).


Bab XI. Bahasa Pengantar


Pasal 41

Bahasa pengantar dalam pendidikan nasional adalah bahasa Indonesia.

Pasal 42

  1. Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan dan sejauh diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu.

  2. Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar sejauh diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu.


Bab XII. Penilaian


Pasal 43

Terhadap kegiatan dan kemajuan belajar peserta didik dilakukan penilaian.

Pasal 44

Pemerintah dapat menyelenggarakan penilaian hasil belajar suatu jenis dan/atau jenjang pendidikan secara nasional.

Pasal 45

Secara berkala dan berkelanjutan Pemerintah melakukan penilaian terhadap kurikulum serta sarana dan prasarana pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan keadaan.

Pasal 46

  1. Dalam rangka pembinaan satuan pendidikan, Pemerintah melakukan penilaian setiap satuan pendidikan secara berkala.

  2. Hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan secara terbuka.


Bab XIII. Peranserta Masyarakat


Pasal 47

  1. Masyarakat sebagai mitra Pemerintah berkesempatan yang seluas-luasnya untuk berperanserta dalam penyelenggaraan pendidikan nasional.

  2. Ciri khas satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat tetap diindahkan.

  3. Syarat-syarat dan tata cara dalam penyelenggaraan pendidikan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.


Bab XIV. Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional


Pasal 48

  1. Keikutsertaan masyarakat dalam penentuan kebijaksanaan Menteri berkenaan dengan sistem pendidikan nasional diselenggarakan melalui suatu Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional yang beranggotakan tokoh-tokoh masyarakat dan yang menyampaikan saran, dan pemikiran lain sebagai bahan pertimbangan.

  2. Pembentukan Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional dan pengangkatan anggota-anggotanya dilakukan oleh Presiden.


Bab XV. Pengelolaan


Pasal 49

Pengelolaan sistem pendidikan nasional adalah tanggung jawab Menteri.

Pasal 50

Pengelolaan satuan dan kegiatan pendidikan yang dislenggarakan oleh Pemerintah dilakukan oleh Menteri dan Menteri lain atau Pimpinan Lembaga Pemerintah lain yang menyelenggarakan satuan pendidikan yang bersangkutan.

Pasal 51

Pengelolaan satuan dan kegiatan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat dilakukan oleh badan/perorangan yang menyelenggarakan satuan pendidikan yang bersangkutan.

Bab XVI. Pengawasan


Pasal 52

Pemerintah melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah ataupun oleh masyarakat dalam rangka pembinaan perkembangan satuan pendidikan yang bersangkutan.

Pasal 53

Menteri berwenang mengambil tindakan administratif terhadap penyelenggara satuan pendidikan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini.

Bab XVII. Ketentuan Lain-lain


Pasal 54

  1. Satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Republik Indonesia di luar negeri khusus bagi peserta didik warga negara adalah bagian dari sistem pendidikan nasional.

  2. Satuan pendidikan yang diselenggarakan di wilayah Republik Indonesia oleh perwakilan negara asing khusus bagi peserta didik warga negara asing tidak termasuk sistem pendidikan nasional.

  3. Peserta didik warga negara asing yang mengikuti pendidikan di satuan pendidikan yang merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional wajib menaati ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi dan dari satuan pendidikan yang bersangkutan.

  4. Kegiatan pendidikan yang diselenggarakan dalam rangka kerja sama internasional atau yang diselenggarakan oleh pihak asing di wilayah Republik Indonesia dilakukan sesuai dengan ketentuan undang-undang ini dan sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.

  5. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.


Bab XVIII. Ketentuan Pidana


Pasal 55

  1. Barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 19 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 18 (delapan belas) bulan atau pidana denda setinggi-tingginya Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).

  2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kejahatan.


Pasal 56

  1. Barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan pasal 19 ayat (2), Pasal 20, dan Pasal 29 ayat (1) dipidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).

  2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah pelanggaran.


Bab XIX. Ketentuan Peralihan


Pasal 57

  1. Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah (Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 550),

  2. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1954 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1960 dari Republik Indonesia Dahulu tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 550),

  3. dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 302, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2361),

  4. Undang-undang Nomor 14 PRPS Tahun 1965 tentang Majelis Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 80) dan Undang-undang Nomor 19 PNPS Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 81) yang ada pada saat diundangkannya undang-undang ini masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan undang-undang ini.


Bab XX. Ketentuan Penutup


Pasal 58

Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini,


    1. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah (Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 550),

    2. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1954 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1960 dari Republik Indonesia Dahulu tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 550),

    3. dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 302, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2361),

    4. Undang-undang Nomor 14 PRPS Tahun 1965 tentang Majelis Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 80) dan Undang-undang Nomor 19 PNPS Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 81) dinyatakan tidak berlaku.



Pasal 59

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diumumkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Sumber dari ; http://zkarnain.tripod.com/DIKNAS.HTM#sepuluh

 

PSIKOLOGI PENDIDIKAN








PSIKOLOGI PENDIDIKAN


 

A.     Pendahuluan

Psikologi pendidikan adalah studi yang sistematis terhadap proses dan faktor-faktor yang berhubungan dengan pendidikan. Sedangkan pendidikan adalah proses pertumbuhan yang berlangsung melalui tindakan-tindakan belajar (Whiterington, 1982:10). Dari batasan di atas terlihat adanya kaitan yang sangat kuat antara psikologi pendidikan dengan tindakan belajar. Karena itu, tidak mengherankan apabila beberapa ahli psikologi pendidikan menyebutkan bahwa lapangan utama studi psikologi pendidikan adalah soal belajar. Dengan kata lain, psikologi pendidikan memusatkan perhatian pada persoalan-persoalan yang berkenaan dengan proses dan faktor-faktor yang berhubungan dengan tindakan belajar.

Karena konsentrasinya pada persoalan belajar, yakni persoalan-persoalan yang senantiasa melekat pada subjek didik, maka konsumen utama psikologi pendidikan ini pada umumnya adalah pada pendidik. Mereka memang dituntut untuk menguasai bidang ilmu ini agar mereka, dalam menjalankan fungsinya, dapat menciptakan kondisi-kondisi yang memiliki daya dorong yang besar terhadap berlangsungnya tindakan-tindakan belajar secara efektif.

 

B.     Mendorong Tindakan Belajar

Pada umumnya orang beranggapan bahwa pendidik adalah sosok yang memiliki sejumlah besar pengetahuan tertentu, dan berkewajiban menyebarluaskannya kepada orang lain. Demikian juga, subjek didik sering dipersepsikan sebagai sosok yang bertugas mengkonsumsi informasi-informasi dan pengetahuan yang disampaikan pendidik. Semakin banyak informasi pengetahuan yang mereka serap atau simpan semakin baik nilai yang mereka peroleh, dan akan semakin besar pula pengakuan yag mereka dapatkan sebagai individu terdidik.

Anggapan-anggapan seperti ini, meskipun sudah berusia cukup tua, tidak dapat dipertahankan lagi. Fungsi pendidik menjejalkan informasi pengetahuan sebanyak-banyakya kepada subjek didik dan fungsi subjek didik menyerap dan mengingat-ingat keseluruhan  informasi itu, semakin tidak relevan lagi mengingat bahwa pengetahuan itu sendiri adalah sesuatu yang dinamis dan tidak terbatas. Dengan kata lain, pengetahuan-pengetahuan (yang dalam perasaan dan pikiran manusia dapat dihimpun) hanya bersifat sementara dan berubah-ubah, tidak mutlak (Goble, 1987 : 46). Gugus pengetahuan yang dikuasai dan disebarluaskan saat ini, secara relatif, mungkin hanya berfungsi untuk saat ini, dan tidak untuk masa lima hingga sepuluh tahun ke depan. Karena itu, tidak banyak artinya menjejalkan informasi pengetahuan kepada subjek didik, apalagi bila hal itu terlepas dari konteks pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Namun demikian bukan berarti fungsi traidisional pendidik untuk menyebarkan informasi pengetahuan harus dipupuskan sama sekali. Fungsi ini, dalam batas-batas tertentu, perlu dipertahankan, tetapi harus dikombinasikan dengan fungsi-fungsi sosial yang lebih luas, yakni membantu subjek didik untuk memadukan informasi-informasi yang terpecah-pecah dan tersebar ke dalam satu falsafah yang utuh. Dengan kata lain dapat diungkapkan bahwa menjadi seorang pendidik dewasa ini berarti juga menjadi “penengah” di dalam perjumpaan antara subjek didik dengan himpunan informasi faktual yang setiap hari mengepung kehidupan mereka.

Sebagai penengah, pendidik harus mengetahui dimana letak sumber-sumber informasi pengetahuan tertentu dan mengatur mekanisme perolehannya apabila sewaktu-waktu diperlukan oleh subjek didik.Dengan perolehan informasi pengetahuan tersebut, pendidik membantu subjek didik untuk mengembangkan kemampuannya mereaksi dunia sekitarnya. Pada momentum inilah tindakan belajar dalam pengertian yang sesungguhya terjadi, yakni ketika subjek didik belajar mengkaji kemampuannya secara realistis dan menerapkannya untuk mencapai kebutuhan-kebutuhannya.

Dari deskripsi di atas terlihat bahwa indikator dari satu tindakan belajar yang berhasil adalah : bila subjek didik telah mengembangkan kemampuannya sendiri. Lebih jauh lagi, bila subjek didik berhasil menemukan dirinya sendiri ; menjadi dirinya sendiri. Faure (1972) menyebutnya sebagai “learning to be”.

Adalah tugas pendidik untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi berlangsungnya tindakan belajar secara efektif. Kondisi yang kondusif itu tentu lebih dari sekedar memberikan penjelasan tentang hal-hal yang termuat di dalam buku teks, melainkan mendorong, memberikan inspirasi, memberikan motif-motif dan membantu subjek didik dalam upaya mereka mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan (Whiteherington, 1982:77). Inilah fungsi motivator, inspirator dan fasilitator dari seorang pendidik.

 

C.     Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses dan Hasil Belajar

Agar fungsi pendidik sebagai motivator, inspirator dan fasilitator dapat dilakonkan dengan baik, maka pendidik perlu memahami faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses dan hasil belajar subjek didik. Faktor-faktor itu lazim dikelompokkan atas dua bahagian, masing-masing faktor fisiologis dan faktor psikologis (Depdikbud, 1985 :11).

1.   Faktor Fisiologis

Faktor-faktor fisiologis ini mencakup faktor material pembelajaran, faktor lingkungan, faktor instrumental dan faktor kondisi individual subjek didik.Material pembelajaran turut menentukan bagaimana proses dan hasil belajar yang akan dicapai subjek didik. Karena itu, penting bagi pendidik untuk mempertimbangkan kesesuaian material pembelajaran dengan tingkat kemampuan subjek didik ; juga melakukan gradasi material pembelajaran dari tingkat yang paling sederhana ke tingkat lebih kompeks.

Faktor lingkungan, yang meliputi lingkungan alam dan lingkungan sosial, juga perlu mendapat perhatian. Belajar dalam kondisi alam yang segar selalu lebih efektif dari pada sebaliknya. Demikian pula, belajar padapagi hari selalu memberikan hasil yang lebih baik dari pada sore hari. Sementara itu, lingkungan sosial yang hiruk pikuk, terlalu ramai, juga kurang kondisif bagi proses dan pencapaian hasil belajar yang optimal.

Yang tak kalah pentingnya untuk dipahami adalah faktor-faktor instrumental, baik yang tergolong perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software). Perangkat keras seperti perlangkapan belajar, alat praktikum, buku teks dan sebagainya sangat berperan sebagai sarana pencapaian tujuan belajar. Karenanya, pendidik harus memahami dan mampu mendayagunakan faktor-faktor instrumental ini seoptimal mungkin demi efektifitas pencapaian tujuan-tujuan belajar.

Faktor fisiologis lainnya yang berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar adalah kondisi individual subjek didik sendiri. Termasuk ke dalam faktor ini adalah kesegaran jasmani dan kesehatan indra. Subjek didik yang berada dalam kondisi jasmani yang kurang segar tidak akan memiliki kesiapan yang memadai untuk memulai tindakan belajar.

2.   Faktor Psikologis

Faktor-faktor psikologis yang berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar

jumlahnya banyak sekali, dan masing-masingnya tidak dapat dibahas secara

terpisah.

Perilaku individu, termasuk perilaku belajar, merupakan totalitas penghayatan dan aktivitas yang lahir sebagai hasil akhir saling pengaruh antara berbagai gejala, seperti perhatian, pengamatan, ingatan, pikiran dan motif.

2.1.   Perhatian

Tentulah dapat diterima bahwa subjek didik yang memberikan perhatian intensif dalam belajar akan memetik hasil yang lebih baik. Perhatian intensif ditandai oleh besarnya kesadaran yang menyertai aktivitas belajar. Perhatian intensif subjek didik ini dapat dieksloatasi sedemikian rupa melalui strategi pembelajaran tertentu, seperti menyediakan material pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan subjek didik, menyajikan material pembelajaran dengan teknik-teknik yang bervariasi dan kreatif, seperti bermain peran (role playing), debat dan sebagainya.

Strategi pemebelajaran seperti ini juga dapat memancing perhatian yang spontan dari subjek didik. Perhatian yang spontan dimaksudkan adalah perhatian yang tidak disengaja, alamiah, yang muncul dari dorongan-dorongan instingtif untuk mengetahui sesuatu, seperti kecendrungan untuk mengetahui apa yang terjadi di sebalik keributan di samping rumah, dan lain-lain. Beberapa hasil penelitian psikologi menunjukkan bahwa perhatian spontan cendrung menghasilkan ingatan yang lebih lama dan intensif dari pada perhatian yang disengaja.

2.2.  Pengamatan

Pengamatan adalah cara pengenalan dunia oleh subjek didik melalui penglihatan, pendengaran, perabaan, pembauan dan pengecapan. Pengamatan merupakan gerbang bai masuknya pengaruh dari luar ke dalam individu subjek didik, dan karena itu pengamatan penting artinya bagi pembelajaran.

Untuk kepentingan pengaturan proses pembelajaran, para pendidik perlu memahami keseluruhan modalitas pengamatan tersebut, dan menetapkan secara analitis manakah di antara unsur-unsur modalitas pengamatan itu yang paling dominan peranannya dalam proses belajar. Kalangan psikologi tampaknya menyepakati bahwa unsur lainnya dalam proses belajar. Dengan kata lain, perolehan informasi pengetahuan oleh subjek didik lebih banyak dilakukan melalui penglihatan dan pendengaran.

Jika demikian, para pendidik perlu mempertimbangkan penampilan alat-alat peraga di dalam penyajian material pembelajaran yang dapat merangsang optimalisasi daya penglihatan dan pendengaran subjek didik. Alat peraga yang dapat digunakan, umpamanya ; bagan, chart, rekaman, slide dan sebagainya.

2.3.  Ingatan

Secara teoritis, ada 3 aspek yang berkaitan dengan berfungsinya ingatan, yakni (1) menerima  kesan, (2) menyimpan kesan, dan (3) memproduksi kesan. Mungkin karena fungsi-fungsi inilah, istilah “ingatan” selalu didefinisikan sebagai kecakapan untuk menerima, menyimpan dan mereproduksi kesan.

Kecakapan merima kesan sangat sentral peranannya dalam belajar. Melalui kecakapan inilah, subjek didik mampu mengingat hal-hal yang dipelajarinya.

Dalam konteks pembelajaran, kecakapan ini dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya teknik pembelajaran yang digunakan pendidik. Teknik pembelajaran yang disertai dengan penampilan bagan, ikhtisar dan sebagainya kesannya akan lebih dalam pada subjek didik. Di samping itu, pengembangan teknik pembelajaran yang mendayagunakan “titian ingatan” juga lebih mengesankan bagi subjek didik, terutama untuk material pembelajaran berupa rumus-rumus atau urutan-urutan lambang tertentu. Contoh kasus yang menarik adalah mengingat nama-nama kunci nada g (gudeg), d (dan), a (ayam), b (bebek) dan sebagainya.

Hal lain dari ingatan adalah kemampuan menyimpan kesan atau mengingat. Kemampuan ini tidak sama kualitasnya pada setiap subjek didik. Namun demikian, ada hal yang umum terjadi pada siapapun juga : bahwa segera setelah seseorang selesai melakukan tindakan belajar, proses melupakan akan terjadi. Hal-hal yang dilupakan pada awalnya berakumulasi dengan cepat, lalu kemudian berlangsung semakin lamban, dan akhirnya sebagian hal akan tersisa dan tersimpan dalam ingatan untuk waktu yang relatif lama.

Untuk mencapai proporsi yang memadai untuk diingat, menurut kalangan psikolog pendidikan, subjek didik harus mengulang-ulang hal yang dipelajari dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama. Implikasi pandangan ini dalam proses pembelajaran sedemikian rupa sehingga memungkinkan bagi subjek didik untuk mengulang atau mengingat kembali material pembelajaran yang telah dipelajarinya. Hal ini, misalnya, dapat dilakukan melalui pemberian tes setelah satu submaterial pembelajaran selesai.

Kemampuan resroduksi, yakni pengaktifan atau prosesproduksi ulang hal-hal yang telah dipelajari, tidak kalah menariknya untuk diperhatikan. Bagaimanapun, hal-hal yang telah dipelajari, suatu saat, harus diproduksi untuk memenuhi kebutuhan tertentu subjek didik, misalnya kebutuhan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam ujian ; atau untuk merespons tantangan-tangan dunia sekitar.

Pendidik dapat mempertajam kemampuan subjek didik dalam hal ini melalui pemberian tugas-tugas mengikhtisarkan material pembelajaran yang telah diberikan.

2.4.  Berfikir

Definisi yang paling umum dari berfikir adalah berkembangnya ide dan konsep (Bochenski, dalam Suriasumantri (ed), 1983:52) di dalam diri seseorang. Perkembangan ide dan konsep ini berlangsung melalui proses penjalinan hubungan antara bagian-bagian informasi yang tersimpan di dalam didi seseorang yang berupa pengertian-perngertian. Dari gambaran ini dapat dilihat bahwa berfikir pada dasarnya adalah proses psikologis dengan tahapan-tahapan berikut : (1) pembentukan pengertian, (2) penjalinan pengertian-pengertian, dan (3) penarikan kesimpulan.

Kemampuan berfikir pada manusia alamiah sifatnya. Manusia yang lahir dalam keadaan normal akan dengan sendirinya memiliki kemampuan ini dengan tingkat yang reletif berbeda. Jika demikian, yang perlu diupayakan dalam proses pembelajaran adalah mengembangkan kemampuan ini, dan bukannya melemahkannya. Para pendidik yang memiliki kecendrungan untuk memberikan penjelasan yang “selengkapnya” tentang satu material pembelajaran akan cendrung melemahkan kemampuan subjek didik untuk berfikir. Sebaliknya, para pendidik yang lebih memusatkan pembelajarannya pada pemberian pengertian-pengertian atau konsep-konsep kunci yang fungsional akan mendorong subjek didiknya mengembangkan kemampuan berfikir mereka. Pembelajaran seperti ni akan menghadirkan tentangan psikologi bagi subjek didik untuk merumuskan kesimpulan-kesimpulannya secara mandiri.

2.5.  Motif

Motif adalah keadaan dalam diri subjek didik yang mendorongnya untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu. Motif boleh jadi timbul dari rangsangan luar, seperti pemberian hadiah bila seseorang dapat menyelesaikan satu tugas dengan baik. Motif semacam ini sering disebut motif ekstrensik. Tetapi tidak jarang pula motif tumbuh di dalam diri subjek didik sendiri yang disebut motif intrinsik. Misalnya, seorang subjek didik gemar membaca karena dia memang ingin mengetahui lebih dalam tentang sesuatu.

Dalam konteks belajar, motif intrinsik tentu selalu lebih baik, dan biasanya berjangka panjang. Tetapi dalam keadaan motif intrinsik tidak cukup potensial pada subjek didik, pendidik perlu menyiasati hadirnya motif-motif ekstrinsik. Motif ini, umpamanya, bisa dihadirkan melalui penciptaan suasana kompetitif di antara individu maupun kelompok subjek didik. Suasana ini akan mendorong subjek didik untuk berjuang atau berlomba melebihi yang lain.Namun demikian, pendidik harus memonitor suasana ini secara ketat agar tidak mengarah kepada hal-hal yang negatif.

Motif ekstrinsik bisa juga dihadirkan melalui siasat “self competition”, yakni menghadirkan grafik prestasi individual subjek didik.Melalui grafik ini, setiap subjek didik dapat melihat kemajuan-kemajuannya sendiri. Dan sekaligus membandingkannya dengan kemajuan yang dicapai teman-temannya.Dengan melihat grafik ini, subjek didik akan terdorong untuk meningkatkan prestasinya supaya tidak berada di bawah prestasi orang lain.

 

 

By: By Supriadi (Designer & Webmaster)

Sumber dari : http://www.andragogi.com/document/psikologi_pendidikan.htm


 

Hakikat Pendidikan

Hakikat Pendidikan


 

Apa sih hakikat pendidikan? Apakah tujuan yang hendak dicapai oleh institusi pendidikan?

Agak miris lihat kondisi saat ini. Institusi pendidikan tidak ubahnya seperi pencetak mesin ijazah. Agar laku, sebagian memberikan iming-iming : lulus cepat, status disetarakan, dapat ijazah, absen longgar, dsb. Apa yang bisa diharapkan dari pendidikan kering idealisme seperti itu. Ki hajar dewantoro mungkin bakal menangis lihat kondisi pendidikan saat ini. Bukan lagi bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa (seperti yang masih tertulis di UUD 43, bah!), tapi lebih mirip mesin usang yang mengeluarkan produk yang sulit diandalkan kualitasnya.

Pendidikan lebih diarahkan pada menyiapkan tenaga kerja "buruh" saat ini. Bukan lagi pemikir-pemikir handal yang siap menganalisa kondisi. Karena pola pikir "buruh" lah, segala macam hapalan dijejalkan kepada anak murid. Dan semuanya hanya demi satu kata : IJAZAH! ya, ijazah, ijazah, ijazah yang diperlukan untuk mencari pekerjaan. Sangat minim idealisme untuk mengubah kondisi bangsa yang morat-marit ini, sangat minim untuk mengajarkan filosofi kehidupan, dan sangat minim pula dalam mengajarkan moral.

Apa sebaiknya hakikat pendidikan? saya setuju dengan kata mencerdaskan kehidupan bangsa. Tapi, ini masih harus diterjemahkan lagi dalam tataran strategis/taktis. kata mencerdsakan kehidupan bangsa mempunyai 3 komponen arti yang sangat penting : (1) cerdas (2) hidup (3) bangsa.

(1) tentang cerdas
Cerdas itu berarti memiliki ilmu yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan real. Cerdas bukan berarti hapal seluruh mata pelajaran, tapi kemudian terbengong-bengong saat harus menciptakan solusi bagi kehidupan nyata. Cerdas bermakna kreatif dan inovatif. Cerdas berarti siap mengaplikasikan ilmunya.

(2) tentang hidup
Hidup itu adalah rahmat yang diberikan oleh Allah sekaligus ujian dari-Nya. Hidup itu memiliki filosofi untuk menghargai kehidupan dan melakukan hal-hal yang terbaik untuk kehidupan itu sendiri. Hidup itu berarti merenungi bahwa suatu hari kita akan mati, dan segala amalan kita akan dipertanggungjawabkan kepada-Nya. Patut dijadikan catatan, bahwa jasad yang hidup belum tentu memiliki ruh yang hidup. Bisa jadi, seseorang masih hidup tapi nurani kehidupannya sudah mati saat dengan snatainya dia menganiaya orang lain, melakukan tindak korupsi, bahkan saat dia membuang sampah sembarangan. Filosofi hidup ini sangat sarat akan makna individualisme yang artinya mengangkat kehidupan seseorang, memanusiakan seorang manusia, memberikannya makanan kehidupan berupa semangat, nilai moral dan tujuan hidup.

(3) tentang bangsa
Manusia selain sesosok individu, dia juga adalah makhluk sosial. Dia adalah komponen penting dari suatu organisme masyarakat. Sosok individu yang agung, tapi tidak mau menyumbangkan apa-apa apa-apa bagi masyarakatnya, bukanlah yang diajarkan agama maupun pendidikan. Setiap individu punya kewajiban untuk menyebarkan pengetahuannya kepada masyarakat, berusaha meningkatkan derajat kemuliaan masyarakat sekitarnya, dan juga berperan aktif dalam dinamika masyarakat. Siapakah masyarakat yang dimaksud disini? Saya setuju bahwa masyarakat yang dimaksud adalah identitas bangsa yang menjadi ciri suatu masyarakat. Era globalisasi memang mengaburkan nilai-nilai kebangsaan, karena segala sesuatunya terasa dekat. Saat terjadi perang Irak misalnya, seakan-akan kita bisa melihat Irak di dalam rumah. Tapi masalahnya, apakah kita mampu berperan aktif secara nyata untuk Irak (selain dengan doa ataupun aksi)? Peran aktif kita dituntut untuk masyarakat sekitar...dan siapakah masyarakat sekitar? tidak lain adalah individu sebangsa.

inilah sekelumit tulisan yang saya jadikan pokok pemikiran buat apa itu hakikat pendidikan sebenarnya.

 

Sumber artikel ini dari : http://pendidikanindonesia.blogspot.com/